Hola! 97's nih hehe. Aku mahasiswi di Universitas Esa Unggul Jakarta-Barat

Senin, 03 Juli 2017

HAKEKAT MANUSIA MENURUT SOCRATES

Socrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒcratēs) (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari AthenaYunani dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar Aristoteles. Semasa hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan karya tulisan apapun sehingga sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal dari tulisan muridnya, Plato.
Socrates diperkirakan lahir dari ayah yang berprofesi sebagai seorang pemahat patung dari batu (stone mason) bernama Sophroniskos. Ibunya bernama Phainarete berprofesi sebagai seorang bidan, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya. Socrates beristri seorang perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak. Secara historis, filsafat Socrates mengandung pertanyaan karena Socrates sediri tidak pernah diketahui menuliskan buah pikirannya. Apa yang dikenal sebagai pemikiran Socrates pada dasarnya adalah berasal dari catatan Plato, Xenophone (430-357) SM, dan siswa-siswa lainnya. Yang paling terkenal diantaranya adalah penggambaran Socrates dalam dialog-dialog yang ditulis oleh Plato. Dalam karya-karyanya, Plato selalu menggunakan nama gurunya sebagai tokoh utama sehingga sangat sulit memisahkan gagasan Socrates yang sesungguhnya dengan gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut Sorates. Nama Plato sendiri hanya muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri yaitu dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus.
Socrates dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki dan berkelilingi mendatangi masyarakat Athena berdiskusi soal filsafat. Dia melakukan ini pada awalnya didasari satu motif religius untuk membenarkan suara gaib yang didengar seorang kawannya dari Oracle Delphi yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Merasa diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat pada saat itu dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai metode kebidanan. Dia memakai analogi seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi dengan caranya berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang dan mendalam. Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang dianggapnya bijak tersebut meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut berdasar satu pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.
Cara berfilsatnya inilah yang memunculkan rasa sakit hati terhadap Socrates karena setelah penyelidikan itu maka akan tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh masyarakat ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka ketahui. Rasa sakit hati inilah yang nantinya akan berujung pada kematian Socrates melalui peradilan dengan tuduhan merusak generasi muda. Sebuah tuduhan yang sebenarnya bisa dengan gampang dipatahkan melalui pembelaannya sebagaimana tertulis dalam Apologi karya Plato. Socrates pada akhirnya wafat pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.
Socrates sebenarnya dapat lari dari penjara, sebagaimana ditulis dalam Krito, dengan bantuan para sahabatnya namun dia menolak atas dasar kepatuhannya pada satu "kontrak" yang telah dia jalani dengan hukum di kota Athena. Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato. Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus
Socrates mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya ialah belajar tentang manusia. Kalimat ini sangat mendasar. Manusia mengatur dirinya, dia membuat peraturan untuk itu, manusia mengatur alam dan ia membuat aturan untuk itu, manusia mengurus dirinya dan alam berdasarkan manusia itu sendiri. Manusia adalah sentral segalanya. Jadi wajar jika manusia semestinya mengenali siapa manusia itu sebenarnya.
Socrates (470-399 SM), orang Athena mengungkapkan pemikirannya tentang manusia dihadapan murid-muridnya. Sarlito (1978:30) mencatat sebagian pendapat Socrates tentang manusia. Dikatakan antara lain bahwa pada diri manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan dunia. Menurut Socrates, manusia itu bertanya tentang dunia dan masing-masing mempunyai jawaban tentang dunia. Tetapi, demikian Socrates seringkali manusia itu tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan yang dipertanyakan. Karena itu perlu ada orang lain yang membantu orang itu mengemukakan jawaban-jawaban yang masih terpendam tersebut. Perlu ada seseorang membantu orang itu melahirkan ide yang ada dalam manusia tersebut.
Berdasarkan pendapatnya itu, Socrates sering berjalan-jalan ditengah kota, dipasar, untuk berbicara dengan setiap orang yang dijumpainya untuk menggali jawaban-jawaban yang ada didalam diri orang itu dengan menggunakan metode tanya jawab yang kelaknya disebut metode Socrates (Socrates method). Socrates mengatakan adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri lebih dahulu jika ia ingin mengetahui hal-hal diluar dirinya. Menururt Socrates, salah satu hakekat (essence) manusia adalah ia ingin tahu dan untuk itu harus ada orang yang harus membantunya yang bertindak sebagai bidan yang membantu bayi lahir dari rahimnya. Socrates dihukum mati pada tahun 399 SM oleh pengadilan Athena dengan tuduhan bahwa dia telah mempengaruhi pemikiran anak muda dengan pemikiran yang buruk. Socrates dikatakan merusak jiwa anak muda, ia mengajak anak muda memikirkan apa-apa diatas langit dan dibawah bumi, sementara itu, kata orang, socrates itu tidak tahu bahwa didepan rumahnya ada lobang yang ia sering terperosok kedalam lobang itu.
Plato adalah salah seorang murid Socrates. Dilahirkan dari keluarga terpandang di ibukota Yunani, Athena. Ia meninggal tahun 347 SM. Di masa hidupnya ia menikmati kemakmuran ekonomi, kemajuan perdagangan, dan sistem pemerintahan demokratis.
Menururt Plato jiwa manusia adalah entitas nonmaterial yang dapat terpisah dari tubuh. Menurutnya, jiwa itu ada sejak sebelum kelahiran, jiwa itu tidak dapat hancur alias abadi. Lebih jauh Plato mengatakan bahwa hakikat manusia itu ada dua yaitu rasio dan kesenangan (nafsu). Dua unsur yang hakiakt ini dijelaskan Plato dengan permislan seorang yang makan kue atau minum sesuatu, ia makan dan ia minum. Ini kesenangan, sementara rasionya tahu bahwa makanan dan minuman itu berbahaya baginya. Karena menikmati kelezatan (kesenangan) itu hakekat, maka rasio sekalipun juga hakekat, tidak sanggup melawannya. Menururt Plato, bila ada konflik batin pada seseorang, pasti terdapat perentangan dua elemen kepribadian pada orang itu, dua elemen yang sering bertentangan tujuannnya. Pada kasus orang yang haus asti ada elemen yang menyebabkan ia ingin minum dan ada elemen lain yang menolak melakukannya, elemen pertama disebut Plato nafsu, bagian kedua disebut rasio. Jadi, dalam pandangan Plato, rasio itu sering berlawanan dengan nafsu (yang menimbulkan kesenangan tadi).
Pada bagian lain Plato berteori bahwa jiwa manusia memiliki tiga elemen, yaitu roh, nafsu, dan rasio. Dalam operasinya, dia mengandaikan roh itu sebagai kuda putih yang menarik kereta bersama kuda hitam (nafsu), yang dikendalikan oleh kusir yaitu rasio yang berusaha mengontrol laju kereta.
Berdasarkan pendidikan ini maka program pendidikan haruslah memebantu rasio dalam mengendalikan kereta tersebut.
Dalam hal hidup bermasyarakat, Plato berpendapat bahwa hidup bermasyarakat itu merupakan suatu keharusan bagi manusia, manusia tidak dapat hidup sendirian. seseorang yang hidup dipulau sendirian akan sulit hidup, karena aktifitas kemanusiaan seperti persahabatan, bermain, seni, politik, dan berpikir tidak terjadi di pulau itu. Implikasi teori ini adalah setiap manusia harus mempunyai minat dan bakat yang berbeda , dan dari situ akan muncul spesialisasi dan pembagian kerja.
Berdasarkan tiga unsur hakiakt manusia, Plato membagi menjadi tiga kelompok. Pertama, manusia yang didominasi oleh rasio yang hasrat utamanya ialah meraih pengetahuan Kedua, manusia yang didominasi roh yang hasrat utamanya ialah meraih reputasi, dan ketiga, manusia disominasi nafsu yang hasrat utamannya pada materi. Tugas rasio adalah mengontrol roh dan nafsu.
Agaknya Plato telah sampai pada salah satu konsep penting dalam pendidikan tatkala ia menyatakan bahwa masyarakat yang rusak akan menghasilkan individu-individu yang cacat, individu-individu yang cacat itu akan menyumbangkan kesulitan-kesulitan sosial bagi masyarakat. Karena itu stevenson dan habermen (2001:158) menilai Plato sebagai orang pertama yang melihat pendidikan sebagai kunci utama dalam membangun masyarakat.
Rene Descrates (1596-1650) adalah filosofi perancis. Ia amat menenkankan rasio pada manusia. Jadi, sama dengan Plato, Descrates berpendapat bahwa ada dua macam tingkah laku, yaitu tingkah laku mekanis yang ada pada binatang dan tingkah laku rasional yang ada pada manusia. Ciri rasional pada tingkah laku manusia ialah ia bebas memilih, pada hewan kebebasan itu tidak ada. Karena bebas memilih itulah maka pada manusia ada tingkah laku yang mandiri.
Dalam proses pemilihan itu rasio memegang peranan penting. Bahkan lebih dari itu Descrates berpendapat bahwa berpikir itu sangat sentral dalam manusia, manusia menyadari keberadaannya karena ia berpikir (cogito ergo sum). Sebagai penganut rasionalisme yang sangat fanatik Descrates hanya meyakini bahwa yang itu hanyalah dirinya sendiri karena satu-satunya yang ia ketahui adalah dirinya sendiri, ia memamng melihat benda atau orang lain , tetapi ia tidak yakin benda atau orang itu benar-benar ada seperti adanya dirinya. Ia meragukan segAla sesuatu diluar dirinya.
Sarlito (1978) mencatat pendapat Descrates ang mengatakan bahwa manusia memiliki emosi yang muncul dalam berbagai kombinasi yaitu cinta (love), gembira (joy), keinginan (desire), benci (rage), sedih (sorrow), dan kagum (wonder). Yang terpenting dalam pemikiran Descrates ialah pendapatnya tentang posisi sentral akal (rasio) sebagai esensi (hakikat) manusia.
Thomas hobbes (1588-1629) adalah tokoh aliran empirisme yang terkenal dengan teori mekanis dalam psikologi.

Sumber :



Rabu, 14 Juni 2017

Jean Paul Sartre

Berbicara mengenai kebebasan dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernah sampai kepada suatu pengertian yang pasti tentang apa itu kebebasan, karena terminologi kebebasan memiliki cakupan yang sangat luas. Namun, apabila kebebasan difokuskan pada manusia, maka kebebasan merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena melalui kebebasan manusia berusaha mengaktualisasikan atau merealisir dirinya sebagai individu yang bereksistensi. Dengan kata lain, kebebasan tidak hanya mencakup salah satu aspek dari manusia untuk di aktualisasikan atau di realisir tetapi seluruh hidup manusia itu adalah kebebasan atau kebebasan mencakup seluruh eksistensi manusia. Kebebasan dicetuskan oleh Jean Paul Sartre dalam bukunya yang berjudul eksistensialisme humanisme. Sartre menggagas bahwa manusia adalah kebebasan.Konsep kebebasan yang mengalir dari Sartre tidak dapat dipahami lepas dari gagasannya mengenai cara berada manusia di dunia yang dia lukiskan secara radikal dalam dua bentuk, antara lain “etre-pour-soi (being-for-itself) dan etre-en-soi (being-in-itself).
Titik berangkat pemikiran Sartre diawali dari pandangannya tentang manusia. Menurut Sartre, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bereksistensi, artinya bahwa manusia itu bukanlah sesuatu yang konseptual melainkan sesuatu yang aktual. Dengan demikian, eksistensi pertama-tama bertolak dari manusia sebagai subjek. Oleh karena eksistensi bertolak dari manusia sebagai subjek, maka eksistensi manusia tidak sama dengan objek-objek yang lain, karena eksistensi manusia tidak dihasilkan darisesuatu yang ditentukan melainkan suatu penyangkalan terhadap objek tertentu.Pemahaman ini bertolak dari apa yang dicetuskan oleh Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi. Artinya, manusia itu berada dulu baru ada. Berada dulu baru ada hendak mengatakan suatu pengertian bahwa manusia pada awalnya adalah kosong. Tetapi, oleh karena pilihan bebasnya manusia menjadi ada. Dengan kata lain, kebebasan manusia untuk memilih menjadikan kekosongannya bereksistensi. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya sebagai satu-satunya individu yang bebas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia itu “ada” sejauh ia bertindak terhadap sesuatu bagi dirinya sendiri dan apa yang dia lakukan untuk dirinya sendiri adalah lahir dari kebebasan dan kesadarannya sebagai individu yang menyadari sesuatu yang berarti bagidirinya. Eksistensialisme humanisme Sartre lahir sebagai gugatan terhadap aliran filsafat yang menganut paham idealisme dan materialisme. Filsafat idealisme yang berpuncak pada Hegel mengatakan bahwa manusia tidak lebih dari sekadar “roh” yang sedang berkembang dan bergerak menuju kesempurnaan diri. Manusia dalam pandangan Hegel bukanlah individu yang memiliki otonomi dan bereksistensi melainkan hanyalah suatu proses penyempurnaan diri dari Roh untuk menjadi absolut. Oleh karena itu, menurutHegel, manusia tidak mencerminkan suatu kehidupan yang konkrit karena makna dan kedudukannya terserap dalam kesadaran Roh Absolut. Demikian pula kaum materialis berpendapat bahwa manusia tidak lebih dari sekadar materi sebagai berada di atas kesadaran manusia. Berangkat dari gagasan di atas, Sartre berpendapat bahwa para filsuf idealis danmeterialis telah mereduksi hakekat manusia sebagai individu yang bereksistensi ke dalam proses dialektik kesadaran roh dan materi. Menurut Sartre, manusia tidak pernah dapat direduksir ke dalam realitas roh dan materi, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai individu yang bebas dan bereksistensi.
Tesis kesadaran merupakan salah satu aspek yang mendasari filsafateksistensialisme humanisme Sartre. Tesis ini dipengaruhi oleh fenomenologi sebagaisalah satu aliran filsafat yang menggeser fokus kesadaran dari objek-objek ke kesadaran tentang objek-objek. Menurut fenomenologi kesadaran bukanlah semata-mata kesadaran,tetapi selalu merupakan kesadaran tentang sesuatu, yaitu kesadaran tentang sesuatu yang berada di luar dirinya. Artinya, kesadaran itu perama-tama bertolak dari dirinya sendiri menuju kepada objek-objek dan bukan sebaliknya dari objek menuju ke kesadaran.Sartre mengamini bahwa kesadaran itu selalu merupakan kesadaran tentang sesuatu. Namun, Sartre berseberangan dengan fenomenologi Husserl berkaitan dengan ego dan kesadaran. Husserl yang dipengaruhi oleh Kant berdalil bahwa kesadaran bersumber dari ego transendental karena apa yang disebut ego tidak ditemukan dalam pengalaman melainkan ego menjadi syarat bagi pengalaman itu sendiri. Dengan kata lain,kesadaran mensyaratkan adanya ego yang menyadari sesuatu. Dalam hal ini Sartre berbeda pendapat dengan Husserl dengan mengatakan bahwa kesadaran itu tidak samadengan benda-benda karena benda-benda itu adalah kekosongan. Dalam hal ini, egodalam konsep Sartre tidak menjadi syarat mutlak bagi kesadaran, karena ego merupakan bagian dari dunia objek sedangkan kesadaran adalah kekosongan. Oleh karena itu, egodan kesadaran tidaklah sama. Dengan demikian, Husserl dan Sartre memiliki jalan pikiran yang berbeda dalam memahami kesadaran. Kalau dalam Husserl kesadaran dipahami sebagai kesadaran dari objek ke kesadaran, sebaliknya Sartre memahami kesadaran sebagai subjektif karena kesadaran itu ada dalam diri individu yang mengarahkan kesadarannya kepada objek dan bukan objek yang mengarahkan kesadarannya kepada individu.

Kamis, 01 Juni 2017

AUGUSTE COMTE

Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme.
Aliran positivisme ini merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte  yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis).
Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran besar tersebut. Disinilah arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan representasi jawaban berikutnya terhadap problem-problem mendasar tersebut.

Riwayat Hidup Auguste Comte

Auguste Comte merupakan filosof dan warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di Montpellier, Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis.
Auguste Comte menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif secara langsung revolusi tersebut khususnya dibidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya untuk memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena didukung  oleh para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu.
Comte bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de’Saint Simon, Comte mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang diakibatkan industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak sosiologi.
Meskipun Comte tidak menguraikan secara lebih rinci masalah apa yang menjadi obyek sosiologi, tetapi ia mempunyai asumsi bahwa sosiologi terdiri dari dua hal, yaitu sosial statis dan sosial dinamis. Menurut Comte, sebagai sosial statis sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari timbal balik antara lembaga kemasyarakatan. Sedangkan sosial dinamis melihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang.
Dasar pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon, Charles Lyell, dan Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer mengenai “hukum perkembangan” juga mempengaruhi pemikirannya. Kata “rasional” bagi Comte terkait dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni pengetahuan riil yang diperoleh melalui observasi (pengalaman indrawi), eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif diperoleh hukum yang sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah maka bagi positivisme, tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami oleh subjek, sehingga kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan penting rasio untuk mengolah fakta menjadi pengalaman. Berdasarkan atas pemikiran yang demikian itu, maka sebagai konsekuensinya metode yang dipakai adalah “Induktif-verifikatif”.
Setelah tulisan-tulisannya mulai beredar, Comte menjadi terkenal di seluruh Eropa bahkan melebihi ketenaran “sang majikan” Henry de’Saint Simon. Namun begitu, selama hidup ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengajar di Universitas. Comte juga senantiasa hidup dalam kemiskinan. Hal ini karena pekerjaannya sebagai pengarang dan guru pribadi tidak cukup untuk hidup. Hanya berkat sumbangan-sumbangan pengikutnya, antara lain dari Fiosof Inggris John Stuart Mill, ia bisa makan.
Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti Cours de Philosophie Possitive, The Sistem of Possitive Polity, The Scientific Labors Necessary for Recognition of Society, dan Subjective Synthesis.

Auguste Comte & Hukum Tiga Tahap

Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1.      Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2.      Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
  1. Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.

Positivisme Auguste Comte
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme.  Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif
Singkatnya, filsafat Comte  merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte  berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Demikianlah beberapa pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.

Kritik Pemikiran

Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya.
Pandangan mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut hemat Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan)
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru.

Senin, 15 Mei 2017

Manusia dan Kehendak Berkuasa menurut Friedrich Nietzsche


Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman di akhir abad ke-19, dan dikenal sebagai seorang pemikir yang melakukan serangan terhadap Kristianitas dan moralitas tradisional di Eropa pada jamannya. Fokus filsafatnya adalah pengembangan diri manusia semaksimal mungkin, dan analisis kebudayaan di jamannya. Ia menekankan sikap menerima dan merayakan kehidupan, kreativitas, kekuasaan, segala kontradiksi, serta absurditas hidup manusia. Ia menolak untuk mengakui adanya dunia lain di luar dunia ini.
Beragam bidang kehidupan mulai dari arsistektur, metodologi penelitian ilmiah, filsafat, seni, sampai dengan fashion mengambil inspirasi dari ide-idenya yang kreatif dan mencerahkan. Percikan-percikan pemikirannya selalu terasa segar, baru, dan inspiratif. Di dalam bidang psikologi, Nietzsche berpetualang mengangkat aspek-aspek hewani dan ketidaksadaran manusia, yang kemudian memberikan inspirasi bagi Freud untuk mengembangkan psikoanalisisnya. Tak jarang pula pemikiran-pemikiran Nietzsche digunakan untuk membenarkan hal-hal kejam, seperti perang, penaklukan, diskriminasi, seperti yang dilakukan oleh NAZI Jerman dan partai fasis Italia.
Walaupun hidup sakit-sakitan, Nietzsche tetap mampu menulis dengan amat baik dan kreatif selama bertahun-tahun di masa hidupnya. Rasa sakit tubuh pun terus datang dan pergi. Ini semua menggambarkan kekuatan mental yang ia miliki di dalam berpikir dan mencipta. Bahkan menurut saya rasa sakit dan penderitaan itulah yang menjadi sumber inspirasi dari tulisan-tulisan filsafatnya. Dari rasa sakit dan ketabahannya, ia menuliskan gagasan-gagasan pencerahan yang mempengaruhi peradaban manusia, sampai sekarang ini.
Konsep kehendak untuk berkuasa adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru.
Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (1), proses transendensi insting-insting alamiah manusia (2), dan cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism) (3). Pemikiran tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas (1), sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality) (2), dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such) (3).
Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan.” Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa.
“Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri tetap merupakan pembadanan dari kehendak untuk berkuasa, tubuh itu akan ingin tumbuh, menyebar, memegang, memenangkan dominasi – bukan karena soal moralitas atau imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan karena hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa.”
Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri.
Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).
Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.

Minggu, 16 April 2017

Arthur Schopenhauer

Arthur Schopenhauer lahir pada 22 Februari 1788 di Danzig, Polandia. Kedua orang tuanya, Heinrich Floris Schopenhauer dan Johanna Schopenhauer, adalah keturunan orang kaya Jerman dan keluarga bangsawan. Arthur Schopenhauer tumbuh menjadi salah satu pesismis terbesar dalam sejarah filosofi karena Orangtuanya tidak memperhatikannya. Setelah kematian ayahnya yang bunuh diri, Arthur diwarisi kekayaan yang menjamin bahwa ia tidak perlu lagi bekerja. Lalu ia dikirim ke London untuk mempelajari bahasa Inggris di sekolah asrama Eagle House di Wimbledon.

Pada tahun 1809, Schopenhauer kuliah dan menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen untuk mempelajari Metafisik dan Psikologi di bawah pengajaran Gottlob Ernst Schulze (1761-1833). Schulze mendorong Schopenhauer untuk mempelajari lebih dalam mengenai pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Pada tahun 1811 sampai tahun 1812, dia mengikuti kuliah dari Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf terkemuka dan dari seorang teolog Friedrich Schleiermacher.

Pemikiran Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Buddha dan filsuf Imanuel Kant. Kekagumannya terhadap kedua tokoh tersebut sangat besar, sampai di ruang kerjanya dipasang patung kedua tokoh tersebut.
Di antara tahun 1814-1815 Schopenhauer pindah ke Dresden dan menulis beberapa tesis. Salah satu tulisan yang disebutnya sebagai mahakarya diselesaikan pada tahun 1818 adalah The World as Will and Representation. Sayangnya buku-buku Schopenhauer tidak laku terjual.
Tahun 1820 Schopenhauer memberikan kuliah filsafat mengenai teori esensi dunia dan pikiran manusia. Hanya lima orang yang mengikuti kuliahnya, sehingga akhirnya Schopenhauer dikeluarkan dari akademi tersebut.

Schopenhauer pernah menjalin hubungan dengan Caroline Medon selama 10 tahun, tapi Schopenhauer tidak pernah berminat untuk meresmikan hubungan itu. Belakangan saat usia 43 tahun, ia mulai memikirkan pernikahan dan mendekati Flora Weiss, namun tidak berhasil. Setelah kegagalan-kegagalan yang dialaminya, Schopenhauer memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen di Frankfurt pada tahun 1833.
Tahun 1851 Schopenhauer mencapai puncak ketenarannya setelah buku kumpulan esainya diterbitkan dan menjadi bestseller. Kesehatannya mulai memburuk dan ia pun meninggal pada 21 September 1860 karena gagal jantung ketika duduk di bangku sekitar rumahnya. Schopenhauer meninggal pada usia 72 tahun.

Kebijaksanaan dari Kematian dan Tragedi Perempuan.


Melalui nirwana individu meraih kedamaian tanpa kehendak, dan menemukan pembebasan. Akan tetapi, setelah individu merasa damai dan bebas, kemudian apa? Hidup membawa individu pada kematian, tetapi hiduppun akan menghidupi anak cucu itu, atau anak cucu individu-individu lain. Maka, dapatkah umat manusia diselamatkan? Adakah nirwana untuk semua umat manusia atau untuk sebuah ras, disamping untuk individu?

Jelas, bahwa satu-satunya penaklukan akhir dan radikal atas kehendak adalah menghentikan sumber kehidupan, yakni kehendak untuk reproduksi. Kepuasaan yang timbul akibat dorongan reproduktif harus dikutuk karena kepuasan seperti itu merupakan penegasan yang paling kuat atas nafsu untuk hidup. Beranak pinak, dengan demikian, bisa disebut dengan kejahatan!
Dan, yang terutama melakukan kejahatan itu adalah perempuan. “karena, ketika pengetahuan telah sampai pada tiadanya kehendak, pesona yang bodoh dari perempuan yang menggoda lagi laki-laki untuk beranak pinak. Anak-anak muda tidak cukup cerdas utnuk melihat betapa singkatnya pesona perempuan tersebut, dan ketika akal sehat mulai berfungsi lagi, ia sudah lama terperosok.
Oleh sebab itu, semakin kurang kita berhubungan dengan perempuan, semakin baiklah hidup kita. Hidup terasa lebih aman, lebih menyenangkan lebih halus tanpa perempuan. Biarkan para lelaki memahami jerat yang dipasang pada kecantikan perempuan, maka komedi absurd reproduksi (pasti) akan berakhir. Perkembangan intelegensi akan memperlemah kehendak untuk bereproduksi, dan dengan demikian suatu ras akan punah. Dan, dengan begitu, penderitaan hidup akan berakhir.
Schopenhauer dapat mengatakan bahwa perempuan merupakan sumber kejahatan dikarenakan ajarannya yang bersifat pesimis dan ia sendiri akhirnya tidak jadi menikah dan hidup sendiri sampai akhir hayatnya sehingga ada kemungkinan ia menganggap perempuan dengan cara yang negatif.

Kehendak Buta


Menurut Schopenhauer, dunia adalah kehendak dan tiada jalan yang menuju kepada dunia di dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, hakikat dunia tidak dapat didekati dari luar; sebab segala pendekatan dari luar hanya memberi pengetahuan tentang apa yang tampak saja, tidak memberi pengetahuan tentang hakikat dunia itu. Untuk mengetahui tentang hakikat sebenarnya dari dunia ini, kita harus memasuki diri kita sendiri. Kalau kita mampu menemukan hakikat jiwa kita sendiri, kita mungkin akan mempunyai kunci untuk membuka pintu dunia luar.
  1. Kehendak Hidup
Keinginan manusia yang sangat kuat dan didasari pada norma-norma yang ada, yang dilakukan untuk mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini kehendak manusia tidak akan terlepas dari yang namanya intlektual, maksudnya bahwa setiap kehendak dari manusia selalu didasarkan pada intlektual yang dimiliki oleh individu tersebut. akan tetapi dalam hal ini intlek bisa letih, dan kehendak selalu terjaga.
  1. Kehendak untuk Reproduksi
Musuh abadi dari kehendak untuk hidup adalah kematian. Kehendak untuk hidup dapat mengalahkan kematian dengan melakukan reproduksi. Setiap organisme normal pada saat mencapai tingkat dewasa, segera mengorbankan dirinya untuk menjalankan tugas reproduksi. Reproduksi adalah tujuan utama dan naluri yang paling kuat dari setiap organisme, karena dengan cara itu kehendak menaklukan kematian. Setiap orang mencari pasangan yang kira-kira bakal menetralisir segala kekurangannya. Tujuan utama perkawinan adalah perpanjangan spesies, dan bukannya kesenangan individu.
Menurut Schopenhauer setiap manusia mempunyai kehendak dimana terdiri dari dua kehendak yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bereproduksi. Semua manusia ingin hidup dan semua manusia akan meninggal dunia sehingga agar populasi manusia tidak punah maka diberikanlah kehendak untuk bereproduksi. Arthur berpendapat menurutnya setiap manusia mencari pasangan didasari untuk perpanjangan spesies dan bukan sepenuhnya kesenangan individu.

Kehendak Sebagai Kejahatan

Jika dunia adalah kehendak, maka dunia adalah penderitaan. Kehendak mengisyaratkan keinginan; keinginan selalu lebih besar dan lebih banyak daripada apa yang diperoleh. Akibatnya pemenuhan keinginan tidak pernah memuaskan, sehingga seringkali membawa ketidakbahagiaan daripada kebahagiaan. Karena tuntutan nafsu seringkali bertentangan dengan kesejahteraan pribadi kita dan membuatnya menjadi lemah. Kontradiksi merusak diri setiap individu, keinginan yang terpenuhi mengembangkan keinginan baru yang lebih besar, demikian seterusnya tanpa ada batasnya.
Gambaran menyeluruh tentang hidup sangatlah menyakitkan karena hidup adalah penderitaan. Bertambahnya pengetahuan bukan berarti bebas dari penderitaan, melainkan justru memperbesar penderitaan. Sejauh kehendak adalah faktor dominan dalam manusia, kesengsaraan dan perselisihan akan terus menerus ada, dan harus terus ada.

Kehendak dianggap sebagai kejahatan bagi Schopenhauer dikarenakan apabila kehendak tidak terpenuhi akan mendatangkan penderitaan dan akhirnya kehilangan kebahagian.


Referensi :
1.https://id.wikipedia.org/wiki/Arthur_Schopenhauer
2. http://psychoexpo.blogspot.co.id/2010/05/kehendak-buta-filsafat-arthur.html
3.http://www.kompasiana.com/www.filsafatmanusia.com/filsafat-manusia-kehedak-buta-arthur-schopenhauer-1788-1868_55299b106ea8343925552d0


http://mulyowiharto.weblog.esaunggul.ac.id


Minggu, 02 April 2017

Pemikiran Rene Descartes

PEMIRIKAN RENE DESCARTES


TEORI UTAMA RENE DESCARTES

Menurut Rene Descartes, dia merasa akan dapat berpikir lebih luas bilamana ia berpikir berdasarkan metode yang rasionalistis untuk menganalisis gejala alam. Dengan pemikiran yang rasionalistis itu, orang mampu menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna seperti ilmu dan teknologi.

Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu, baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar tersebut.

Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.:
- Pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio.
- Kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.

Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional.

Descartes meneliti suatu metode berpikir yang umum yang akan memberikan pertalian dan pengetahuan dan menuju kebenaran dalam ilmu-ilmu. Penelitian itu mengantarnya ke matematika, yang ia simpulkan sebagai sarana pengembangan kebenaran di segala bidang. Karya matematikanya yang paling berpengaruh ialah La Geometrie, yang diterbitkan pada tahun 1637. Pengembangan kalkulus tidak mungkin tercapai tanpa dia.

Didalamnya ia mencoba suatu penggabungan dari geometri tua dan patut dimuliakan dengan aljabar yang masih belm berkembang pada waktu itu. Bersama dengan seorang Perancis lainnya, Pierre Fermat (1601-1665), ia diberi penghargaan dengan gabungan tersebut yang saat ini kita sebut sebagai geomtri analitik, atau geometri koordinat. Pengembangan lengkap kalkulus tidak mungkin ada tanpa teorinya terlebih dahulu. Descartes benar-benar yakin bahwa penemuan metode yang tepat adalah kunci dari meningkatnya pengetahuan. Untuk diskusi yang lebih luas dan rinci tentang metode ini, bisa dilihat di buku “The Rationalists,” Oxford University Press, Oxford, 1982, Chapter 2 yang ditulis oleh John Cottingham.Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta sistem koordinat Kartesius, yang memengaruhi perkembangan kalkulus modern.

Ia juga pernah menulis buku Sekitar tahun 1629 yang berjudul Rules for the Direction of the Mind yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya.

Ada lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa:

1. Pandangan mekanisnya mengenai alam semesta.
2. Sikapnya yang positif terhadap penjajagan ilmiah.
3. Tekanan yang diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan.
4. Pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptic.
5. Penitik pusatan perhatian terhadap epistemology.

TEORI TENTANG ETIKA DESCARTES

Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran, sehingga inilah yang diduga oleh beberapa orang sebagai kelemahan dari filsafat Descartes yang justru mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method and Meditations on First Philosophy, Descartes menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi tidak menjelaskan dimana posisinya, apa yang dia percayai secara detail. Meskipun Descartes tidak membahas terlalu luas etika di dalam filsafatnya, tetapi dalam tulisan-tulisannya Descartes menyatakan tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia, dimana manusia dapat menikmati suatu kebahagian yang sudah dapat dicapainya dalam hidup. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end must be determined by reason” (The Philosophy of René Descartes – 2, 2002). Dengan kata lain akhir hidup manusia dapat ditinjau oleh rasio manusia. Jika manusia ingin mendapatkan kehidupan yang tenang dan bahagia di akhir hidupnya, maka dia juga harus melakukan sesuatu yang benar. Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the Direction of the Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to direct the mind with a view to forming true and sound judgements about whatever comes before it” (Descartes’ Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang artinya memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.

Dari pemikiran Descartes, ada hal yang masih perlu dipertanyakan kembali. Pertama, akhir hidup manusia itu dapat ditentukan oleh apa yang manusia itu lakukan (suatu bentuk kepercayaan akan akhir hidup manusia). Ini bertentangan dengan prinsip rasionalismenya yang memerlukan bukti dari segala sesuatu. Bagaimana Descartes bisa menjelaskan bahwa akhir hidup seseorang akan mencapai ketenangan dan kebahagiaan jika perilakunya baik sedangkan dia belum melihat akhir hidup seseorang itu secara langsung. Ini berarti dia memakai iman, bukan hanya rasio.

COGITO ERGO SUM

Segala sesuatu perlu dipelajari, tetapi diperluakn metode yang tepat untuk mempelajarinya. Rene Descartes pun berfikir demikian, ia mengatakan bahwa mempelari filsafat membutuhkan metode tersendiri agr hasilnya benar- benar logis. Ia sendiri mendapatkan metode yang di carinya itu, yaitu dengan menyaksikan segala-galanya atau menerapkan metode keragu-raguan, artinya kesangsian keradu-raguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai saat ini di anggap sudah final atau pasti. Misalnya, bahwa ada suatu dunia material bahwa saya mempunyai tubuh, kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan.cogito ergo sum : saya sedang menyaksikan, ada. Cogito ergo sum ini berasal dari kata latin ini berarti: “saya berfikir, jadi saya ada”. Akan tetapi, yang dimaksud Rene Descartes dengan berfikir disini ialah menyadari. Jika saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara langsung menyatakan adanya saya dalam filsafat modern, kata”cogito” seringkali digunakan dalam arti kesadaran. Cogito ergo sum itulah menurut Rene Descartes suatu kebenara yang tidak dapat di sangkal, betapapun besar usahaku. Mengapa kebenaran ini bersifat pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly). Jadi hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah pilah saja yang harus diterima sebagai benar. itulah norma untuk menetukan kebenaran.

Menurut Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada.

Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi tentang maksud dari cogito ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan.

Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis.

Ini merupakan inti dari teori pengetahuan Rene Descartes dan memuat hal terpenting dalam filsfatnya. Kebanyakan filsof sejak Descartes memandang penting teori pengetahuan ini, dan sikap mereka ini disebabkan oleh Rene Descartes. “Aku befikir maka aku ada” membuat pikiran lebih penting dari pada materi, dan pikiran saya (bagi saya sendiri) lebih pasti daripada pikiran-pikiran orang lain. Makanya semua filsafat yang diturunkan dari Rene Descartes cenderung pada subjektivime dan cenderung untuk menganggap materi sebagai sesuatu hanya bisa diketahui dengan cara menarik kesimpulan dari apa yang diketahui pikiran. Dua kecenderungan ini ada dalam idealisme continental dan empirisme Inggris –berjaya pada yang pertama dan di sesali pada yang kedua. Pada waktu belakangan ini, telah ada upaya untuk menjauh darisubjektivisme tersebut melalui filsafat yang disebut instumentalisme, filsafat modern telah banyak sekali menerima perumusan masalah-masalahnya dari Descartes, tetapi tidak menerima solusi-solusinya.

Setelah meletakkan sebuah dasar yang kuat, Descartes mulai mendirikan kembali sebuah bangunan ilmu pengetahuan. “Aku” yang terbukti ada disimpulkan dari fakta yang aku pikirkan, maka aku ada ketika aku berfikir, dan hanya saat itu. Jika aku berhenti berfikir, tidak ada bukti tentang eksistensiku. Aku adalah sesuatu yang berfikir, sebuah zat yang seluruh sifat atau esensinya berupa pikiran. Karenanya, jiwa seluruhnya berbeda dari tubuh dan lebih mudah mengetahui daripada tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada tubuh.

Selanjutnya Descartes bertanya pada diri sendiri: mengapa cogito begitu nyata? Dia menjawabnya sendiri bahwa ini hanya disebabkan oleh cogito itu jelas dan nyata. Kemudian kemudian dia mengadopsi prinsip berikut sebagai aturan umun : Semuanya yang aku pahami secara sangat jelas dan nyata adalah benar. Namun dia mengakui bahwa kadang-kadang ada kesulitan dalam memahami hal-hal mana yang sebenarnya.

Konsep “berfikir” digunakan Descartes dalam pengertian yang sangat luas. Sesuatu yang berpikir, menurutnya, adalah sesuatu yang meragukan , memahami, menegaskan, menolak, berkehendak, membayangkan, dan merasakan –karena perasaan, ketika muncul dalam mimpi, adalah sebuah bentuk berpikir. Karena berpikir adalah esensi dari pikiran, pikiran pasti selalu berpikir, bahkan ketika sedang tertidur nyenyak.

IDE TERANG BENDERANG

Cagito Ergo Sum, inilah sebuah metode yang dihasilkan oleh Descartes dengan menjunjung tinggi suatu keraguan untuk mengungkap sebuah kebenaran. Ia menyatakan bahwa ketika seseorang bermimpi, dia pun akan mengalami hal yang sama ketika ia dalam keadaan terjaga dari tidurnya (seolah-olah nyata). Jelaslah dalam hal ini, antara bermimpi dengan apa yang dilakukan dikehidupan nyata tidak ada batasan yang jelas dan tegas. Dari hal semacam inilah keraguan Descartes muncul. Dia pun meragukan atas keberadaan dirinya, akan tetapi satu hal yang ia tidak dapat ragukan adalah rasa ragu itu sendiri. Inilah yang menjadi basis filsafat Descartes, yaitu saya ragu maka saya berfikir dan saya berfikir adalah ada. Selain Cagito Ergo Sum (aku berfikir, maka aku ada), karya yang terkenal dari Descartes lainnya adalah Discourse de la Methode dan Meditationes de prima philosophia. Descartes membedakan adanya tiga ide dalam diri manusia, antara lain:


  • Innate ideas adalah ide atau pemikiran bawaan sejak manusia tersebut dilahirkan.
  • Adventitious idea adalah ide yang berasal dari luar diri manusia.
  • Factitious idea adalah ide yang dilahirkan oleh fikiran itu sendiri. (Surajiyo.2008:33)
Dengan metode Descartes itulah akhirnya memunculkan kembali bahwa segala sesuatu haruslah dipecahkan dengan rasio (rasionalisme). Melalui pembuktian, logika dan analisis berdasarkan fakta-fakta, dari pada melalui dogma, iman maupun ajaran agama. Dengan kata lain, semua permasalahan dapat dilihat dari sudut pandang realistis, bukan dari sebuah kepercayaan ato takhayul. Dari sinilah Descartes memulai era Renaissance dimana akal lebih berpotensi digunakan dari pada hati. Hal itu sama halnya seperti era keemasan Yunani kuno yang sangat mendewakan akal sebelum pengaruh gereja di abad pertengahan muncul.

Keragu-raguan Descartes hanyalah sebuah metode, sesungguhnya ia bukan ragu-ragu seperti skepsis. Ia ragu-ragu bukan untuk ragu-ragu, melainkan untuk mencapai kepastian. Dan tercapailah kepastian itu menurut dia. Kepastian yang terdapat pada kesadaran inilah yang dipakai menjadi pangkal pikiran dan filsafatnya. Karena kesadaran ini, nampaklah rasio yang menentukan pangkal untuk bertindak seterusnya dan mengadakan sistem filsafat. Hanya rasio yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Rasio pulalah yang dapat memberikan pimpinan dalam segala pikiran. Adapun yangbenar itu hanya tindakan yang terang-benderang yang disebut dengan idees claires et distinctes. Yang dapat diutarakan dengan ide yang demikian itu tidak masuk ke dalam wilayah filsafat. Akan tetapi apa dan siapa yang menjamin, bahwa ide terang-benderang itu benar? Yang menjadi jaminan ialah Tuhan sendiri. Ide yang terang-benderang ini pemberian Tuhan sebelum orang dilahirkan. Ide itu disebutnya ideae innatae (ide bawaan). Karena itu haruslah ide itu benar, karena pemberian yang maha benar. Jadi menurut Descartes itu bukanlah hasil pengabstrakan yang diambil dari yang kongkrit, melainkan sudah dimiliki orang orang waktu dilahirkan. Ide terang-benderang itu bekal hidup, hadiah dari kebenaran sejati. Tuhan yang sungguh-sungguh ada tak membiarkan ide-ide itu akan tak benar, sebab tak mungkin juga Tuhan memberi pedoman yang salah.

Oleh karena itu, menurut Descartes rasiolah yang menjadi sumber dan pangkal dari segala pengertian dan budilah yang memegang pimpinan dalam segala pengertian. Pikiranlah yang menjadi landasan filsafat, dengan begitu filsafat berpangkal pada kebenaran yang fundamental dan asasi. Itu sebabnya mengapa aliran ini disebut rasionalisme. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya bahkan dilebih-lebihkan oleh Descartes dengan mengabaikan nilai pengetahuan indera, yang menurutnya kerap kali menyesatkan manusia.

Descartes mulai mempertanyakan pengetahuan kita tentang benda-benda. Dia mengambil contok sebuah malam dari sarang lebah. Benda-benda tertentu jelas di tangkap indera: malam itu terasa madu, malam itu terasa bau bunga, malam itu memiliki warna, ukuran dan bentuk tertentu, malam itu keras dan dingin, dan jika di sentil malam itu menimbulkan bunyi. Namun jika anda mendekatkannya pada api, sifat-sifat tersebut berubah meskipun malam itu masih tetap ada, sehingga yang di tangkap oleh indera bukanlah malam itu sendiri. Malam itu dinyatakan oleh pengembangan, fleksibilitas dan gerak, yang di pahami oleh pikiran, bukan oleh imajinasi. Sesuatu yang di sebut malam tidak bisa ada dengan sendirinya karena terkait dengan penampakannya yang di tangkap oleh indera. Persepsi atas malam “bukanlah sebuah penglihatan atau sentuhan atau imajinasi, tetapi pemeriksaan oleh akal.” Aku tidak melihat malam lebih dari aku melihat orang-orang dijalan ketika aku melihat topi dan mantel. “Aku memahami dengan kekuatan penilaian semata, yang bersemayam di dalam pikiranku, apa yang aku pikirkan aku melihat dengan mataku.” Pengetahuan yang diperoleh melalui indera keliru, dan sama dengan pengetahuan binatang; tetapi sekarang aku telah melepaskan malam dari kulitnya dan secara mental memahaminya telanjang. Dari penglihatanku atas malam, esistensiku menjadi pasti tetapi tidak dengan esitensi malam. Pengetahuan tentang sesuatu sesuatu eksternal harus dengan pikiran, bukan dengan indera.

Ini mengundang perhatian terhadap bermacam-macam ide yang berbeda. Kesalahan yang paling sering terjadi, kata Descartes, adalah bahwa ide-ideku seperti hal-hal diluar. (kata “ide” meliputi persepsi indera, sebagaimana yang di pakai Descartes.) ide-ide tampaknya dibedakan menjadi tiga: (1) ide-ide yang dibawa sejak lahir,
(2)ide-ide yang asing dan berasal dari luar,
(3) ide-ide yang aku ciptakan.

Ide jenis kedua yang biasanya kita anggap, seperti objek-objek luar. Kita menduganya demikian, sebagian karena alam mengajarkan kita untuk berfikir demikian, sebagian lagi karena ide-ide semacam itu secara independen berasal dari kehendak (yakni melalui perasaan), dan karena itu beralasan jika aku beranggapan bawha sesuatu yang asing menanamkan keserupaannya pada diriku. Tetapi apakan penjelasan ini benar? Ketika aku mengatakan “di ajari oleh alam” dalam kontek ini, maksudku hanyalah bahwa aku mempunyai suatu kecenderungan untuk  memprcayainya, bukannya aku melihatnya dengan sebuah cahaya alami. Apa yang telah terlihat oleh cahaya alami tidak bisa ditolak, tetapi hanyalah sebuah kecenderungan yang bisa mengarah pada kesalahan. Mengenai ide-ide yang diperoleh dari indera secara tidak sengaja meskipun berasal dari dalam. Alasan-alasan untuk menduga bahwa ide-ide dari indera berasal dari luar makanya tidak meyakinkan.

Selain itu, kadangkala ada dua ide berada tentang objek eksternal yang sama, yakni matahari yang ditangkap oleh indera dan matahari yang di percaya oleh para ahli astronomi. Kedua ide ini tidak sama dengan matahari, dan akal menunjukkan bahwa ide langsung berasal dari pengalaman pasti kurang menyerupai matahari menurut kedua ide tersebut.

Lebih jauh, menurut Descartes, apa yang jernih dan terpilah-pilah itu tidak mungkin berasal dari luar diri kita. Descartes memberi contoh lilin yang apabila dipanaskan mencair dan berubah bentuknya. Apa yang membuat pemahaman kita bahwa apa yang nampak sebelum dan sesudah mencair adalah lilin yang sama? Mengapa setelah penampakan berubah kita tetap mengatakan bahwa itu lilin? Jawaban Descartes adalah karena akal kita yang mampu menangkap ide secara jernih dan gamblang tanpa terpengaruh oleh gejala-gejala yang ditampilkan lilin. Oleh karena penampakan dari luar tidak dapat dipercaya maka seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya sendiri yang bersifat pasti. Ide-ide yang bersifat pasti dipertentangkan dengan ide-ide yang berasal dari luar yang bersifat menyesatkan.

Yang paling fundamental dalam mencari kebenaran adalah senen tiasa merujuk kepada prinsip cogito ergo sum. Hal tersebut disebabkan oleh keyakinan bahwa dalam diri sendiri, kebenaran lebih terjamin dan terjaga. Karena kesaksian apapun dari luar tidak dapar dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dangan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian, apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga “ide bawaan” (Inggris: innate ideas). Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir msing-masing ialah pemikiran, Tuhan, dan keluasan.

Pemikiran.
Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.

Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna.
Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempuna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan.

Keluasan.
Materi sebagai keluasan atau ekstensi (extension), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.

SUBSTANSI

Descartes menerima 3 realitas atau subtansi bawaan yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan(res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) tuhan (sebagai wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kudua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak menambil ruang dan tak dapat di bagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua subtansi berasal dari tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung apa pun. Descartes adalah seorang dualis, yang menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki realitas keduanya sedangkan binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan.

Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk memebuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan dmikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 67)

Berbeda dengan para rasionalis-ateis seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert, Descartes masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas. Jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan.

Descartes merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia.

Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasardasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri.

KONSEP TENTANG NATURE MANUSIA

Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis ( sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes sendiri. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 67)

Rene Descartes merupakan seorang filsuf rasionalis. Oleh sebab itu, semua hal yang dapat dipikirkan dan dianggap benar oleh filsuf ini berada dalam ranah rasional. Ketika sesuatu berada diluar rasional dan tidak dapat diinderai, maka hal itu tidaklah benar-benar ada. Indera dan pikiran menjadi indikator untuk mengukur kebenaran suatu hal.

Rene Descartes mengemukakan ide tentang soul-body, melahirkan Cartesian dualism yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :

Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entitas yang berbeda dan terpisah    dari body, lebih mudah dipahami oleh manusia karena ada proses self reflection/self awareness yang diasumsikan inherent pada manusia.

Body : entitas fisik pada manusia yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama seperti yang terjadi pada hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada perintah mind.

Dengan demikian faktor mind-lah (kemampuan untuk self-reflection) yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikannya makhluk yang secara intelektual lebih unggul.

Menurut Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.

Dari pernyataan Descartes di atas, sangat jelas bahwa Descartes selalu berupaya mencari kebenaran yang rasionalis dan sistematis, tidak mau dengan hanya sekedar yakin. Lalu dia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala sesuatu. Segala sesuatu diawali dengan rasio, karena iman ragu-ragu. Gejala-gejala atau kejadian apapun yang nampak semua diragukannya, karena ia tidak memercayai semua yang dapat ditangkap oleh inderawi. Apapun yang dipikirkan, itulah yang dia anggap benar. Descartes meragukan segala sesuatu, bahkan eksistensinya sekalipun. Dia meragukan apakah yang sedang dilakukan adalah benar-benar sedang dilakukan atau hanya halusinasinya saja. Dia meragukan apakah yang dilihat itu benar seperti apa yang dilihat atau hanya interpretasi semu saja yang pada kenyataannya tidaklah demikian. Pada intinya, keruguan dan keraguan sajalah yang selalu timbul. Hingga akhirnya untuk menepis keragu-raguan akan keberadaannya sendiri ia mengemukakan teorinya “I think therefore I am”. Ia berpikir ini merupakan suatu jawaban baginya. Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana ia bisa yakin bahwa yang ia pikirkan itu benar? Mengapa ia tidak meragukan teori “I think therefore I am” yang ia kemukakan sebagai jawaban dari keragu-raguannya. Jika memang semua harus diragukan, maka ia juga perlu meragukan kebenaran dari teorinya tersebut. Ketika Descartes mengutarakan bahwa senses dan idea menjadi sumber informasi yang dapat diterima kebenarannya, maka kita perlu tahu sumber dari senses dan idea itu sendiri, sehingga keduanya dapat begitu hebat untuk menjadi 2 validator yang dianggap absolut.


Referensi

Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum; dari Metodologi sampai Teofilosofi. . 2008. Bandung:  Pustaka Setia.

Bertebs , K.  ,. Ringkasan Sejarah Filsafat, 1975. Yogyakarta: Kanisius.

Bakker, Anton., Metode-Metode Filsafat.  1986. Jakarta: Ghalia Indonesia.


Sudarsono. Ilmu Filsafat; suatu pengantar. 2008. Jakarta: Rineka Cipta.