Minggu, 02 April 2017

Pemikiran Rene Descartes

PEMIRIKAN RENE DESCARTES


TEORI UTAMA RENE DESCARTES

Menurut Rene Descartes, dia merasa akan dapat berpikir lebih luas bilamana ia berpikir berdasarkan metode yang rasionalistis untuk menganalisis gejala alam. Dengan pemikiran yang rasionalistis itu, orang mampu menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna seperti ilmu dan teknologi.

Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu, baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar tersebut.

Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.:
- Pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio.
- Kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.

Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional.

Descartes meneliti suatu metode berpikir yang umum yang akan memberikan pertalian dan pengetahuan dan menuju kebenaran dalam ilmu-ilmu. Penelitian itu mengantarnya ke matematika, yang ia simpulkan sebagai sarana pengembangan kebenaran di segala bidang. Karya matematikanya yang paling berpengaruh ialah La Geometrie, yang diterbitkan pada tahun 1637. Pengembangan kalkulus tidak mungkin tercapai tanpa dia.

Didalamnya ia mencoba suatu penggabungan dari geometri tua dan patut dimuliakan dengan aljabar yang masih belm berkembang pada waktu itu. Bersama dengan seorang Perancis lainnya, Pierre Fermat (1601-1665), ia diberi penghargaan dengan gabungan tersebut yang saat ini kita sebut sebagai geomtri analitik, atau geometri koordinat. Pengembangan lengkap kalkulus tidak mungkin ada tanpa teorinya terlebih dahulu. Descartes benar-benar yakin bahwa penemuan metode yang tepat adalah kunci dari meningkatnya pengetahuan. Untuk diskusi yang lebih luas dan rinci tentang metode ini, bisa dilihat di buku “The Rationalists,” Oxford University Press, Oxford, 1982, Chapter 2 yang ditulis oleh John Cottingham.Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta sistem koordinat Kartesius, yang memengaruhi perkembangan kalkulus modern.

Ia juga pernah menulis buku Sekitar tahun 1629 yang berjudul Rules for the Direction of the Mind yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya.

Ada lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa:

1. Pandangan mekanisnya mengenai alam semesta.
2. Sikapnya yang positif terhadap penjajagan ilmiah.
3. Tekanan yang diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan.
4. Pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptic.
5. Penitik pusatan perhatian terhadap epistemology.

TEORI TENTANG ETIKA DESCARTES

Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran, sehingga inilah yang diduga oleh beberapa orang sebagai kelemahan dari filsafat Descartes yang justru mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method and Meditations on First Philosophy, Descartes menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi tidak menjelaskan dimana posisinya, apa yang dia percayai secara detail. Meskipun Descartes tidak membahas terlalu luas etika di dalam filsafatnya, tetapi dalam tulisan-tulisannya Descartes menyatakan tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia, dimana manusia dapat menikmati suatu kebahagian yang sudah dapat dicapainya dalam hidup. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end must be determined by reason” (The Philosophy of RenĂ© Descartes – 2, 2002). Dengan kata lain akhir hidup manusia dapat ditinjau oleh rasio manusia. Jika manusia ingin mendapatkan kehidupan yang tenang dan bahagia di akhir hidupnya, maka dia juga harus melakukan sesuatu yang benar. Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the Direction of the Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to direct the mind with a view to forming true and sound judgements about whatever comes before it” (Descartes’ Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang artinya memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.

Dari pemikiran Descartes, ada hal yang masih perlu dipertanyakan kembali. Pertama, akhir hidup manusia itu dapat ditentukan oleh apa yang manusia itu lakukan (suatu bentuk kepercayaan akan akhir hidup manusia). Ini bertentangan dengan prinsip rasionalismenya yang memerlukan bukti dari segala sesuatu. Bagaimana Descartes bisa menjelaskan bahwa akhir hidup seseorang akan mencapai ketenangan dan kebahagiaan jika perilakunya baik sedangkan dia belum melihat akhir hidup seseorang itu secara langsung. Ini berarti dia memakai iman, bukan hanya rasio.

COGITO ERGO SUM

Segala sesuatu perlu dipelajari, tetapi diperluakn metode yang tepat untuk mempelajarinya. Rene Descartes pun berfikir demikian, ia mengatakan bahwa mempelari filsafat membutuhkan metode tersendiri agr hasilnya benar- benar logis. Ia sendiri mendapatkan metode yang di carinya itu, yaitu dengan menyaksikan segala-galanya atau menerapkan metode keragu-raguan, artinya kesangsian keradu-raguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai saat ini di anggap sudah final atau pasti. Misalnya, bahwa ada suatu dunia material bahwa saya mempunyai tubuh, kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan.cogito ergo sum : saya sedang menyaksikan, ada. Cogito ergo sum ini berasal dari kata latin ini berarti: “saya berfikir, jadi saya ada”. Akan tetapi, yang dimaksud Rene Descartes dengan berfikir disini ialah menyadari. Jika saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara langsung menyatakan adanya saya dalam filsafat modern, kata”cogito” seringkali digunakan dalam arti kesadaran. Cogito ergo sum itulah menurut Rene Descartes suatu kebenara yang tidak dapat di sangkal, betapapun besar usahaku. Mengapa kebenaran ini bersifat pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly). Jadi hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah pilah saja yang harus diterima sebagai benar. itulah norma untuk menetukan kebenaran.

Menurut Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada.

Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi tentang maksud dari cogito ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan.

Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis.

Ini merupakan inti dari teori pengetahuan Rene Descartes dan memuat hal terpenting dalam filsfatnya. Kebanyakan filsof sejak Descartes memandang penting teori pengetahuan ini, dan sikap mereka ini disebabkan oleh Rene Descartes. “Aku befikir maka aku ada” membuat pikiran lebih penting dari pada materi, dan pikiran saya (bagi saya sendiri) lebih pasti daripada pikiran-pikiran orang lain. Makanya semua filsafat yang diturunkan dari Rene Descartes cenderung pada subjektivime dan cenderung untuk menganggap materi sebagai sesuatu hanya bisa diketahui dengan cara menarik kesimpulan dari apa yang diketahui pikiran. Dua kecenderungan ini ada dalam idealisme continental dan empirisme Inggris –berjaya pada yang pertama dan di sesali pada yang kedua. Pada waktu belakangan ini, telah ada upaya untuk menjauh darisubjektivisme tersebut melalui filsafat yang disebut instumentalisme, filsafat modern telah banyak sekali menerima perumusan masalah-masalahnya dari Descartes, tetapi tidak menerima solusi-solusinya.

Setelah meletakkan sebuah dasar yang kuat, Descartes mulai mendirikan kembali sebuah bangunan ilmu pengetahuan. “Aku” yang terbukti ada disimpulkan dari fakta yang aku pikirkan, maka aku ada ketika aku berfikir, dan hanya saat itu. Jika aku berhenti berfikir, tidak ada bukti tentang eksistensiku. Aku adalah sesuatu yang berfikir, sebuah zat yang seluruh sifat atau esensinya berupa pikiran. Karenanya, jiwa seluruhnya berbeda dari tubuh dan lebih mudah mengetahui daripada tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada tubuh.

Selanjutnya Descartes bertanya pada diri sendiri: mengapa cogito begitu nyata? Dia menjawabnya sendiri bahwa ini hanya disebabkan oleh cogito itu jelas dan nyata. Kemudian kemudian dia mengadopsi prinsip berikut sebagai aturan umun : Semuanya yang aku pahami secara sangat jelas dan nyata adalah benar. Namun dia mengakui bahwa kadang-kadang ada kesulitan dalam memahami hal-hal mana yang sebenarnya.

Konsep “berfikir” digunakan Descartes dalam pengertian yang sangat luas. Sesuatu yang berpikir, menurutnya, adalah sesuatu yang meragukan , memahami, menegaskan, menolak, berkehendak, membayangkan, dan merasakan –karena perasaan, ketika muncul dalam mimpi, adalah sebuah bentuk berpikir. Karena berpikir adalah esensi dari pikiran, pikiran pasti selalu berpikir, bahkan ketika sedang tertidur nyenyak.

IDE TERANG BENDERANG

Cagito Ergo Sum, inilah sebuah metode yang dihasilkan oleh Descartes dengan menjunjung tinggi suatu keraguan untuk mengungkap sebuah kebenaran. Ia menyatakan bahwa ketika seseorang bermimpi, dia pun akan mengalami hal yang sama ketika ia dalam keadaan terjaga dari tidurnya (seolah-olah nyata). Jelaslah dalam hal ini, antara bermimpi dengan apa yang dilakukan dikehidupan nyata tidak ada batasan yang jelas dan tegas. Dari hal semacam inilah keraguan Descartes muncul. Dia pun meragukan atas keberadaan dirinya, akan tetapi satu hal yang ia tidak dapat ragukan adalah rasa ragu itu sendiri. Inilah yang menjadi basis filsafat Descartes, yaitu saya ragu maka saya berfikir dan saya berfikir adalah ada. Selain Cagito Ergo Sum (aku berfikir, maka aku ada), karya yang terkenal dari Descartes lainnya adalah Discourse de la Methode dan Meditationes de prima philosophia. Descartes membedakan adanya tiga ide dalam diri manusia, antara lain:


  • Innate ideas adalah ide atau pemikiran bawaan sejak manusia tersebut dilahirkan.
  • Adventitious idea adalah ide yang berasal dari luar diri manusia.
  • Factitious idea adalah ide yang dilahirkan oleh fikiran itu sendiri. (Surajiyo.2008:33)
Dengan metode Descartes itulah akhirnya memunculkan kembali bahwa segala sesuatu haruslah dipecahkan dengan rasio (rasionalisme). Melalui pembuktian, logika dan analisis berdasarkan fakta-fakta, dari pada melalui dogma, iman maupun ajaran agama. Dengan kata lain, semua permasalahan dapat dilihat dari sudut pandang realistis, bukan dari sebuah kepercayaan ato takhayul. Dari sinilah Descartes memulai era Renaissance dimana akal lebih berpotensi digunakan dari pada hati. Hal itu sama halnya seperti era keemasan Yunani kuno yang sangat mendewakan akal sebelum pengaruh gereja di abad pertengahan muncul.

Keragu-raguan Descartes hanyalah sebuah metode, sesungguhnya ia bukan ragu-ragu seperti skepsis. Ia ragu-ragu bukan untuk ragu-ragu, melainkan untuk mencapai kepastian. Dan tercapailah kepastian itu menurut dia. Kepastian yang terdapat pada kesadaran inilah yang dipakai menjadi pangkal pikiran dan filsafatnya. Karena kesadaran ini, nampaklah rasio yang menentukan pangkal untuk bertindak seterusnya dan mengadakan sistem filsafat. Hanya rasio yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Rasio pulalah yang dapat memberikan pimpinan dalam segala pikiran. Adapun yangbenar itu hanya tindakan yang terang-benderang yang disebut dengan idees claires et distinctes. Yang dapat diutarakan dengan ide yang demikian itu tidak masuk ke dalam wilayah filsafat. Akan tetapi apa dan siapa yang menjamin, bahwa ide terang-benderang itu benar? Yang menjadi jaminan ialah Tuhan sendiri. Ide yang terang-benderang ini pemberian Tuhan sebelum orang dilahirkan. Ide itu disebutnya ideae innatae (ide bawaan). Karena itu haruslah ide itu benar, karena pemberian yang maha benar. Jadi menurut Descartes itu bukanlah hasil pengabstrakan yang diambil dari yang kongkrit, melainkan sudah dimiliki orang orang waktu dilahirkan. Ide terang-benderang itu bekal hidup, hadiah dari kebenaran sejati. Tuhan yang sungguh-sungguh ada tak membiarkan ide-ide itu akan tak benar, sebab tak mungkin juga Tuhan memberi pedoman yang salah.

Oleh karena itu, menurut Descartes rasiolah yang menjadi sumber dan pangkal dari segala pengertian dan budilah yang memegang pimpinan dalam segala pengertian. Pikiranlah yang menjadi landasan filsafat, dengan begitu filsafat berpangkal pada kebenaran yang fundamental dan asasi. Itu sebabnya mengapa aliran ini disebut rasionalisme. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya bahkan dilebih-lebihkan oleh Descartes dengan mengabaikan nilai pengetahuan indera, yang menurutnya kerap kali menyesatkan manusia.

Descartes mulai mempertanyakan pengetahuan kita tentang benda-benda. Dia mengambil contok sebuah malam dari sarang lebah. Benda-benda tertentu jelas di tangkap indera: malam itu terasa madu, malam itu terasa bau bunga, malam itu memiliki warna, ukuran dan bentuk tertentu, malam itu keras dan dingin, dan jika di sentil malam itu menimbulkan bunyi. Namun jika anda mendekatkannya pada api, sifat-sifat tersebut berubah meskipun malam itu masih tetap ada, sehingga yang di tangkap oleh indera bukanlah malam itu sendiri. Malam itu dinyatakan oleh pengembangan, fleksibilitas dan gerak, yang di pahami oleh pikiran, bukan oleh imajinasi. Sesuatu yang di sebut malam tidak bisa ada dengan sendirinya karena terkait dengan penampakannya yang di tangkap oleh indera. Persepsi atas malam “bukanlah sebuah penglihatan atau sentuhan atau imajinasi, tetapi pemeriksaan oleh akal.” Aku tidak melihat malam lebih dari aku melihat orang-orang dijalan ketika aku melihat topi dan mantel. “Aku memahami dengan kekuatan penilaian semata, yang bersemayam di dalam pikiranku, apa yang aku pikirkan aku melihat dengan mataku.” Pengetahuan yang diperoleh melalui indera keliru, dan sama dengan pengetahuan binatang; tetapi sekarang aku telah melepaskan malam dari kulitnya dan secara mental memahaminya telanjang. Dari penglihatanku atas malam, esistensiku menjadi pasti tetapi tidak dengan esitensi malam. Pengetahuan tentang sesuatu sesuatu eksternal harus dengan pikiran, bukan dengan indera.

Ini mengundang perhatian terhadap bermacam-macam ide yang berbeda. Kesalahan yang paling sering terjadi, kata Descartes, adalah bahwa ide-ideku seperti hal-hal diluar. (kata “ide” meliputi persepsi indera, sebagaimana yang di pakai Descartes.) ide-ide tampaknya dibedakan menjadi tiga: (1) ide-ide yang dibawa sejak lahir,
(2)ide-ide yang asing dan berasal dari luar,
(3) ide-ide yang aku ciptakan.

Ide jenis kedua yang biasanya kita anggap, seperti objek-objek luar. Kita menduganya demikian, sebagian karena alam mengajarkan kita untuk berfikir demikian, sebagian lagi karena ide-ide semacam itu secara independen berasal dari kehendak (yakni melalui perasaan), dan karena itu beralasan jika aku beranggapan bawha sesuatu yang asing menanamkan keserupaannya pada diriku. Tetapi apakan penjelasan ini benar? Ketika aku mengatakan “di ajari oleh alam” dalam kontek ini, maksudku hanyalah bahwa aku mempunyai suatu kecenderungan untuk  memprcayainya, bukannya aku melihatnya dengan sebuah cahaya alami. Apa yang telah terlihat oleh cahaya alami tidak bisa ditolak, tetapi hanyalah sebuah kecenderungan yang bisa mengarah pada kesalahan. Mengenai ide-ide yang diperoleh dari indera secara tidak sengaja meskipun berasal dari dalam. Alasan-alasan untuk menduga bahwa ide-ide dari indera berasal dari luar makanya tidak meyakinkan.

Selain itu, kadangkala ada dua ide berada tentang objek eksternal yang sama, yakni matahari yang ditangkap oleh indera dan matahari yang di percaya oleh para ahli astronomi. Kedua ide ini tidak sama dengan matahari, dan akal menunjukkan bahwa ide langsung berasal dari pengalaman pasti kurang menyerupai matahari menurut kedua ide tersebut.

Lebih jauh, menurut Descartes, apa yang jernih dan terpilah-pilah itu tidak mungkin berasal dari luar diri kita. Descartes memberi contoh lilin yang apabila dipanaskan mencair dan berubah bentuknya. Apa yang membuat pemahaman kita bahwa apa yang nampak sebelum dan sesudah mencair adalah lilin yang sama? Mengapa setelah penampakan berubah kita tetap mengatakan bahwa itu lilin? Jawaban Descartes adalah karena akal kita yang mampu menangkap ide secara jernih dan gamblang tanpa terpengaruh oleh gejala-gejala yang ditampilkan lilin. Oleh karena penampakan dari luar tidak dapat dipercaya maka seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya sendiri yang bersifat pasti. Ide-ide yang bersifat pasti dipertentangkan dengan ide-ide yang berasal dari luar yang bersifat menyesatkan.

Yang paling fundamental dalam mencari kebenaran adalah senen tiasa merujuk kepada prinsip cogito ergo sum. Hal tersebut disebabkan oleh keyakinan bahwa dalam diri sendiri, kebenaran lebih terjamin dan terjaga. Karena kesaksian apapun dari luar tidak dapar dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dangan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian, apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga “ide bawaan” (Inggris: innate ideas). Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir msing-masing ialah pemikiran, Tuhan, dan keluasan.

Pemikiran.
Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.

Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna.
Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempuna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan.

Keluasan.
Materi sebagai keluasan atau ekstensi (extension), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.

SUBSTANSI

Descartes menerima 3 realitas atau subtansi bawaan yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan(res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) tuhan (sebagai wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kudua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak menambil ruang dan tak dapat di bagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua subtansi berasal dari tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung apa pun. Descartes adalah seorang dualis, yang menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki realitas keduanya sedangkan binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan.

Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk memebuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan dmikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 67)

Berbeda dengan para rasionalis-ateis seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert, Descartes masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas. Jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan.

Descartes merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia.

Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasardasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri.

KONSEP TENTANG NATURE MANUSIA

Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis ( sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes sendiri. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 67)

Rene Descartes merupakan seorang filsuf rasionalis. Oleh sebab itu, semua hal yang dapat dipikirkan dan dianggap benar oleh filsuf ini berada dalam ranah rasional. Ketika sesuatu berada diluar rasional dan tidak dapat diinderai, maka hal itu tidaklah benar-benar ada. Indera dan pikiran menjadi indikator untuk mengukur kebenaran suatu hal.

Rene Descartes mengemukakan ide tentang soul-body, melahirkan Cartesian dualism yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :

Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entitas yang berbeda dan terpisah    dari body, lebih mudah dipahami oleh manusia karena ada proses self reflection/self awareness yang diasumsikan inherent pada manusia.

Body : entitas fisik pada manusia yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama seperti yang terjadi pada hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada perintah mind.

Dengan demikian faktor mind-lah (kemampuan untuk self-reflection) yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikannya makhluk yang secara intelektual lebih unggul.

Menurut Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.

Dari pernyataan Descartes di atas, sangat jelas bahwa Descartes selalu berupaya mencari kebenaran yang rasionalis dan sistematis, tidak mau dengan hanya sekedar yakin. Lalu dia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala sesuatu. Segala sesuatu diawali dengan rasio, karena iman ragu-ragu. Gejala-gejala atau kejadian apapun yang nampak semua diragukannya, karena ia tidak memercayai semua yang dapat ditangkap oleh inderawi. Apapun yang dipikirkan, itulah yang dia anggap benar. Descartes meragukan segala sesuatu, bahkan eksistensinya sekalipun. Dia meragukan apakah yang sedang dilakukan adalah benar-benar sedang dilakukan atau hanya halusinasinya saja. Dia meragukan apakah yang dilihat itu benar seperti apa yang dilihat atau hanya interpretasi semu saja yang pada kenyataannya tidaklah demikian. Pada intinya, keruguan dan keraguan sajalah yang selalu timbul. Hingga akhirnya untuk menepis keragu-raguan akan keberadaannya sendiri ia mengemukakan teorinya “I think therefore I am”. Ia berpikir ini merupakan suatu jawaban baginya. Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana ia bisa yakin bahwa yang ia pikirkan itu benar? Mengapa ia tidak meragukan teori “I think therefore I am” yang ia kemukakan sebagai jawaban dari keragu-raguannya. Jika memang semua harus diragukan, maka ia juga perlu meragukan kebenaran dari teorinya tersebut. Ketika Descartes mengutarakan bahwa senses dan idea menjadi sumber informasi yang dapat diterima kebenarannya, maka kita perlu tahu sumber dari senses dan idea itu sendiri, sehingga keduanya dapat begitu hebat untuk menjadi 2 validator yang dianggap absolut.


Referensi

Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum; dari Metodologi sampai Teofilosofi. . 2008. Bandung:  Pustaka Setia.

Bertebs , K.  ,. Ringkasan Sejarah Filsafat, 1975. Yogyakarta: Kanisius.

Bakker, Anton., Metode-Metode Filsafat.  1986. Jakarta: Ghalia Indonesia.


Sudarsono. Ilmu Filsafat; suatu pengantar. 2008. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar