Hola! 97's nih hehe. Aku mahasiswi di Universitas Esa Unggul Jakarta-Barat

Senin, 15 Mei 2017

Manusia dan Kehendak Berkuasa menurut Friedrich Nietzsche


Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman di akhir abad ke-19, dan dikenal sebagai seorang pemikir yang melakukan serangan terhadap Kristianitas dan moralitas tradisional di Eropa pada jamannya. Fokus filsafatnya adalah pengembangan diri manusia semaksimal mungkin, dan analisis kebudayaan di jamannya. Ia menekankan sikap menerima dan merayakan kehidupan, kreativitas, kekuasaan, segala kontradiksi, serta absurditas hidup manusia. Ia menolak untuk mengakui adanya dunia lain di luar dunia ini.
Beragam bidang kehidupan mulai dari arsistektur, metodologi penelitian ilmiah, filsafat, seni, sampai dengan fashion mengambil inspirasi dari ide-idenya yang kreatif dan mencerahkan. Percikan-percikan pemikirannya selalu terasa segar, baru, dan inspiratif. Di dalam bidang psikologi, Nietzsche berpetualang mengangkat aspek-aspek hewani dan ketidaksadaran manusia, yang kemudian memberikan inspirasi bagi Freud untuk mengembangkan psikoanalisisnya. Tak jarang pula pemikiran-pemikiran Nietzsche digunakan untuk membenarkan hal-hal kejam, seperti perang, penaklukan, diskriminasi, seperti yang dilakukan oleh NAZI Jerman dan partai fasis Italia.
Walaupun hidup sakit-sakitan, Nietzsche tetap mampu menulis dengan amat baik dan kreatif selama bertahun-tahun di masa hidupnya. Rasa sakit tubuh pun terus datang dan pergi. Ini semua menggambarkan kekuatan mental yang ia miliki di dalam berpikir dan mencipta. Bahkan menurut saya rasa sakit dan penderitaan itulah yang menjadi sumber inspirasi dari tulisan-tulisan filsafatnya. Dari rasa sakit dan ketabahannya, ia menuliskan gagasan-gagasan pencerahan yang mempengaruhi peradaban manusia, sampai sekarang ini.
Konsep kehendak untuk berkuasa adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru.
Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (1), proses transendensi insting-insting alamiah manusia (2), dan cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism) (3). Pemikiran tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas (1), sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality) (2), dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such) (3).
Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan.” Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa.
“Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri tetap merupakan pembadanan dari kehendak untuk berkuasa, tubuh itu akan ingin tumbuh, menyebar, memegang, memenangkan dominasi – bukan karena soal moralitas atau imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan karena hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa.”
Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri.
Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).
Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.